Berkarya Melalui Sampah Rokok

Berkarya Melalui Sampah Rokok

Bekas tempat minyak rambut itu tampak unik. Ukurannya kecil. Transparan. Bak toples kue lebaran. Dengan tambahan tali karmantel, melilit bagian atas dan bawah. Semua tali menyambung sampai penutup. Tak lupa ditambah sebuah pengait pada bagian tutup. Agar bisa mengait dan mudah dibawa ke mana saja.

Sang kreator benda itu adalah Tomi Sitorus. Sudah tiga tahun dia membawa hasil karyanya tersebut. Bahkan sudah menjadi barang wajib. Mahasiswa asal Medan, Sumatera Utara, itu menyebut benda ciptaannya tersebut sebagai asbak portable.

Sebagai perokok, pria 23 tahun ini merasa sangat memerlukan benda tersebut. Dia sadar, merokok sudah memberikan polusi udara. Tetapi, dia tak ingin menambah beban lagi buat lingkungan. Untuk itu, dirinya memulai dengan hal paling sederhana. Dengan membuat asbak portable. Sehingga puntung dan abu rokok sisa isapan tidak menjadi sampah terbuang sembarang. Dimasukan ke asbak buatan miliknya. Hingga terkumpul, memenuhi kotak.

Tomi pun sempat mendapat julukan asbak berjalan. Sebab dia selalu membawa benda buatannya tersebut. Tak sedikit di sekitarnya bertanya tentang asbak portable itu. Bahkan perlahan teman di sekitarnya juga mengikuti caranya. Namun, tidak bertahan lama.

"Saya pakai asbak portable sejak tahun 2015. Ada yang ikutin, tapi panas di awal saja. Enggak lama. Ya kecewa, mereka di awal saja," cerita Tomi saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu pekan lalu.

Ide awal membuat asbak portable terinspirasi dari kampanye bebas sampah puntung rokok di media sosial. Dari situ, Tomi akhirnya mencoba bikin sendiri. Selain digunakan untuk pribadi, Tomi kerap mengajak perokok di sekitarnya untuk tak sembarangan membuang abu dan puntung rokok sembarangan.

Memang belum sepenuhnya berhasil. Hanya segelintir mengikuti jejaknya dan konsisten bertanggung jawab atas sampah puntung rokok. Meski begitu, Tomi tak putus asa. Dia terus menularkan kebiasaan baik tersebut.

Sampah dari rokok selama ini memang belum menjadi perhatian khusus. Bentuknya kecil terkadang kerap diremehkan. Banyak terselip di antara sudut jalan. Kotor dan terlihat tak ada guna. Sehingga hanya dibuang ke tempat sampah. Bercampur dengan jenis sampah lain.

Kondisi serupa justru dipandang berbeda. Kami bertemu dengan relawan Bank Sampah Nusantara (BSN). Sebuah gerakan komunitas di bawah naungan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU). Berlokasi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Memasuki ruangan BSN, kesan pertama kami seperti gudang. Banyak benda tergeletak tak tertata. Namun, di sana justru pusat pembuatan hasil karya dari pelbagai material berbahan dasar sampah. Salah satunya potret Presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di sudut ruangan. Memakai kemeja hitam, peci dan kaca mata.
Bukan dibuat dari cat minyak. Melainkan terbuat dari limbah koran bekas. Limbah sampah dilinting. Kemudian dibentuk sedemikan rupa. Membentuk wajah tokoh besar Nahdlatul Ulama tersebut. Teknik mozaik disisipkan untuk memperindah potret Gus Dur, Sang Guru Bangsa.

Lukisan berukuran 50 cm x 75 cm dibuat relawan BSN bernama Yusuf Dullahi alias Ucup. Tak hanya lukisan wajah Gus Dur. Berbagai karya lain, seperti belasan patung dari bekas kertas koran juga dipamerkan. Semua benda di ruangan itu buah karya para relawan BSN. Hanya dengan memanfaatkan limbah sampah di sekitar.

Untuk karya Gus Dur hasil keterampilan tangan Yusuf, memadukan dengan lintingan koran dan sisa tembakau dari puntung rokok. Hasil karya tiga dimensi pertama dibuat Ucup Oktober tahun lalu. Lintingan limbah koran itu membentuk manusia tanpa mata, hidung dan telinga. Sosok manusia itu digambarkan tengah berusaha keluar dari jeratan tali tengah melilit.

Untuk pewarnaan, Ucup memanfaatkan warna dari koran sebagai pewarna alami. Ragam warna itu pun dikombinasikan dengan tembakau. Limbah dari sisa rokok hasil konsumsinya sendiri. Selain limbah rokok, dia juga menyisipkan lintingan sampah tisu di dalamnya. Karya perdananya ini dikerjakan selama satu bulan.

"Ide awalnya dari koran sih sebenarnya. Kebetulan karena saya rokoknya kretek, jadi saya coba padukan dengan lintingan koran ini," cerita Ucup kepada merdeka.com, Selasa pekan lalu.

Hampir di semua karya, Ucup hanya menggunakan sisa tembakau milikinya sendiri. Ayah tiga orang anak ini selalu membawa toples kecil berwarna putih. Toples bekas obat itu dia gunakan untuk menyimpan sisa tembakau dari rokok kretek. Ucup sengaja hanya menggunakan limbah rokoknya sendiri. Agar terhindar dari penyakit dapat ditularkan lewat limbah puntung rokok.

Sisa tembakau itu langsung bisa diaplikasikan. Dia mengaku tak ada proses sterilisasi. Sebab dia yakin dirinya sehat dan terhindar dari berbagai penyakit menular.

Kami berkesempatan menyaksikan langsung proses pengerjaan hiasan dinding tiga dimensi dibuat Ucup ketika berada di markas BSN. Sore itu dia hanya menggunakan kaos tanpa lengan. Pria berkaca mata itu tengah membuat hiasan dinding dari lintingan koran. Kali ini ia tengah membuat tulisan asmaul husna.

Di papan bekas berukuran 25 cm x 60 cm itu telah dibuat pola. Bertuliskan Ar-Rahim dalam tulisan Arab. Baru setengah bagian ditempel lintingan koran. Sambil berbincang, kami pun ikut mencoba dan diajarkan cara melinting kertas. Cukup mudah caranya.

Kertas koran hanya dipotong menjadi persegi panjang sekitar 2 cm x 30 cm. Setelah dilipat menjadi dua persegi panjang. Salah satu sisi dioles lem kayu hingga rata. Setelah itu salah satu ujung kertas ditahan menggunakan kaki atau benda berat. Sementara sisi lainnya diputar searah jarum jam. Begitu selanjutnya hingga mengubah menjadi lintingan koran.

Hal paling sulit dalam membuat hiasan dinding tiga dimensi bagi Ucup adalah mencari warna di koran. Sebab, untuk mendapatkan warna tertentu Ucup harus memilah satu per satu koran. Biasanya dia hanya menggunakan koran bagian foto dan iklan. Sebab, dua bagian ini bisa menghasilkan berbagai warna.

"Susahnya itu nyari warna. Kadang ada warna yang bagus nih, tapi sedikit. Kalau di bagian tulisan nanti warnanya jadi putih atau abu-abu," terang Ucup.

Hasil karya Ucup dan teman-temannya sudah banyak pameran. Terutama dalam acara dibuat Nahdlatul Ulama. Bukan hanya memamerkan. Bahkan bisa dijual. Biasanya hiasan dinding itu dibandrol mulai dari harga Rp 1 juta.

Tak hanya itu, karya Ucup dan para relawan BSN sering dijadikan buah tangan pengurus NU kepada sejumlah pihak yang menjalin kerja sama. Mulai dari perusahaan swasta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga duta besar negara sahabat. "Kemarin kita berikan kasih juga buat Menteri Siti Nurbaya. Bentuknya daun," kata Ucup.

Karya sampah dari sisa tembakau dianggap aman. Bahkan tak perlu melakukan sterilisasi. Seperti diungkapkan Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Satyanto. Menurutnya, limbah puntung rokok tidak masalah bila dikreasikan menjadi karya seni bila digunakan dalam bentuk padat dan bukan cairan. Sebab, bakal berdampak negatif pula kepada pengrajin.

Justru, kata Satyanto, bila limbah rokok melalui tahap sterilisasi justru akan mengubah wujud asli limbah. "Sterilisasi itu kan dipanaskan atau disiram alkohol. Kalau begitu nanti bisa berubah bentuknya. Kalau buat pajangan disusun tidak masalah," terang Satyanto kepada merdeka.com

Dosen Ilmu Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyebut, limbah puntung rokok juga bisa dimanfaatkan sebagai pestisida. Racun terdapat di tembakau bisa digunakan untuk melepaskan lintah menempel di tanaman. Selain lintah, air rendaman limbah rokok juga bisa digunakan untuk hama serangga dan kutu ada di tanaman.

"Ada banyak (jenis hama) contohnya ulat dan kutu. Kandungan racun yang ada di rokok bisa dilihat dari toksinitasnya," ucapnya. Selain itu, untuk filter pada puntung rokok bisa dimanfaatkan sebagai material pembuatan aspal. Karena diyakini lebih mampu menyerap panas dan menahan hawa panas dari sinar matahari. (Merdeka.com)

No comments

Powered by Blogger.